Kamis, 05 Maret 2020

KASUS BANK BALI DAN 10 KORUPTOR DI DUNIA


A.    KASUS BANK BALI

11 Januari 1999
Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Djoko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada Bank Bali (BB) selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.

Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun dalam perjanjian ini, Djoko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

29 Maret 1999
PT EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali untuk dan atas nama PT EGP menagih ke BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp 342,919 miliar dan mengkreditkannya ke rekening perusahaan itu. Hal serupa dilakukan terhadap penagihan piutang beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp 1, 277 triliun dan mengkreditkannya ke rekening PT EGP.

1 Juni 1999
BPPN meminta BI melakukan pembayaran dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904 miliar dari BI mengucur ke rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).

3 Juni 1999
BPPN instruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan).

9 Juni 1999
Setelah uang keluar dari BI, janji PT EGP menyerahkan surat-surat berharga pemerintah yang
harusnya jatuh tempo pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian penyelesaian. Isinya,
Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar ke PT EGP. Alasannya, tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga dikurangkan saja dengan uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.

20 Juli 1999
Standard Chartered Bank melaporkan hasil due diligence dan menemukan:
a. Terjadi tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar
b. Adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima kerugian tambahan tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi.

23 Juli 1999
Penyerahan Bank Bali dari Bank Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep Dpg/1999 menyusul terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali.

30 Juli 1999
Ahli hukum perbankan Pradjoto membeberkan jaringan money politics, dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun, yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan dugaan adanya dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.

8 September 1999
Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang sudah diselewengkan pada masa lalu. PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak dianjurkan atas individu tertentu.

27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999 - 8 November 1999
Djoko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 - 13 Januari 2000
Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 - 10 Februari 2000
Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 - 10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.

April 2000 – Agustus 2000
Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.

Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.

Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.

Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000
Antasari, selaku JPU, mengajukan kasasi.

26 Juni 2001
Majelis hakim agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.

Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009
Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.

Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.

Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.


B.    10 KORUPTOR DI DUNIA
1.       Muhammad Soeharto (Presiden Indonesia)
2.       Ferdinand Marcos (Presiden Filipina)
3.       Mobutu Sese Seko (Presiden Kongo)
4.       Sani Abcha (Presiden Nigeria)
5.       Slobodan Milosevic (Presiden Serbia Yugoslavia)
6.       Jean Claude Duvalier (Presiden Haiti)
7.       Albert Fujiomoro (Presiden Peru)
8.       Pavlo Lazarenko (Presiden Ukraina)
9.       Arnoldo Aleman (Presiden Nicaragua)
10.    Joseph Estrada (Presiden Filipina)